Giliran China Laporkan Lonjakan Kasus COVID-19, Begini Situasinya

Giliran China – China kembali jadi sorotan dunia. Setelah sempat membanggakan diri dengan “zero COVID policy” yang ketat, kini negeri Tirai Bambu itu dihantam gelombang baru COVID-19. Jumlah kasus positif melonjak tajam dalam waktu singkat, membuat rumah sakit mulai kewalahan dan publik kembali dihantui ketakutan massal. Pemerintah China sendiri akhirnya tak bisa lagi menutupi kenyataan pahit ini: virus belum benar-benar hengkang.

Lonjakan kasus ini disebut-sebut sebagai imbas dari pelonggaran aturan ketat sebelumnya. Setelah hampir dua tahun dibelenggu lockdown dan pengawasan ketat, masyarakat China akhirnya menikmati kebebasan. Tapi justru di sinilah masalah bermula—kerumunan, mobilitas tinggi, dan protokol kesehatan yang diabaikan menjadi bahan bakar sempurna untuk penyebaran varian baru yang lebih bonus new member 100.

Varian Baru, Gejala Lama

Menurut laporan dari media lokal dan beberapa pengamat internasional, lonjakan ini di picu oleh kemunculan subvarian Omicron yang bermutasi lebih cepat dan menyebar lebih luas. Gejalanya memang tidak selalu parah, tetapi tingkat penularannya gila-gilaan. Dalam hitungan hari, satu kota bisa berubah jadi pusat penyebaran tanpa ampun.

Bahkan tenaga medis pun mulai keteteran. Mereka bukan hanya kelelahan menghadapi pasien yang terus berdatangan, tetapi juga berhadapan dengan kekurangan alat medis dan obat-obatan. Obat flu dan penurun demam ludes dari rak apotek, masker kembali di buru, dan antrian panjang di klinik jadi pemandangan harian. Ini bukan lagi sekadar lonjakan biasa, ini nyaris jadi kekacauan sistematis.

Pemerintah China Mulai Panik?

Meski berusaha tetap tenang di permukaan, langkah-langkah pemerintah menunjukkan tanda-tanda kepanikan. Beberapa kota besar mulai memberlakukan pembatasan mobilitas ringan, meskipun tidak seketat masa lalu. Tes massal kembali di galakkan, meski respon masyarakat tidak seantusias dulu. Banyak warga mulai lelah, skeptis, bahkan marah dengan sikap pemerintah yang di anggap plin-plan.

Di media sosial, keluhan meledak. Warga menuding pemerintah gagal mengantisipasi lonjakan ini setelah gegabah melonggarkan aturan tanpa strategi mitigasi jangka panjang. Banyak yang menyebut keputusan tersebut lebih di dorong oleh tekanan ekonomi dan politik, bukan pertimbangan medis. Dan kini, rakyatlah yang harus menanggung akibatnya.

Ketimpangan Kesehatan Kembali Terbuka

Satu hal yang kembali menganga adalah ketimpangan akses layanan kesehatan antara kota besar dan wilayah pedalaman. Sementara rumah sakit di Beijing atau Shanghai mungkin masih bisa mengelola gelombang pasien, daerah-daerah terpencil nyaris tidak punya daya tahan. Banyak warga desa harus menempuh puluhan kilometer hanya untuk mendapatkan obat dasar, dan banyak yang tak sempat tertolong.

Pemerintah pusat memang mengklaim telah mendistribusikan bantuan logistik dan tim medis tambahan ke daerah terdampak, namun laporan di lapangan mengatakan sebaliknya. Banyak fasilitas kesehatan lokal mengaku belum menerima bantuan apa pun, dan hanya mengandalkan stok lama yang sudah menipis.

Respons Dunia Internasional: Waspada dan Penuh Pertanyaan

Kabar ini tidak hanya mengguncang China, tapi juga menimbulkan kecemasan global. Negara-negara tetangga mulai memperketat skrining terhadap pelancong dari China. Maskapai penerbangan di sorot, dan beberapa negara bahkan mempertimbangkan kembali pembatasan perjalanan dari dan ke China. Kekhawatiran terhadap munculnya varian baru yang menyebar secara global kembali mencuat.

Sementara itu, komunitas ilmiah dunia menuntut transparansi. Mereka tidak ingin kejadian di awal pandemi terulang, ketika informasi terlambat di sebarkan dan virus sudah menyebar ke seluruh dunia sebelum bisa di kendalikan. WHO bahkan sudah melayangkan permintaan resmi agar China membuka akses data infeksi secara lengkap dan real-time.

China kini berada di persimpangan: apakah akan mengakui kondisi darurat dan bersikap terbuka, atau kembali menutup diri dengan retorika propaganda. Yang jelas, lonjakan kasus kali ini bukan hanya krisis domestik, tapi potensi ancaman global yang bisa meledak kapan saja.

Exit mobile version